Pasar Oligopoli



Pasar Oligopoli pada Industri Telekomunikasi

Ada hal menarik yang dapat dicermati dari gencarnya perang tarif percakapan melalui telepon seluler akhir-akhir ini, yaitu masing-masing provider mengklaim bahwa mereka telah memberikan harga terbaik bagi para pelanggannya. Simak saja misalnya bagaimana perilaku tiga operator telepon seluler terbesar di Indonesia (PT. Telkomsel, PT. Indosat, dan PT. Exelcomindo Pratama) dalam mengibarkan bendera perang pemasaran dengan menawarkan tarif percakapan di bawah Rp1 per detik. Terlepas dari iming-iming menarik yang ditawarkan, perang tarif yang diluncurkan para operator telepon seluler kini sebenarnya sudah memasuki ranah yang mengusik perhatian kita kalau tidak mau dikatakan sudah membingungkan atau bahkan menjebak bagi pelanggan individual.
Kreatifitas para operator dalam merumuskan skema tarif percakapan ternyata mampu mengacak-acak perilaku pelanggan sehingga membuat pelanggan individual seringkali penasaran dan terpancing emosinya. Simak saja bagaimana operator XL menawarkan tarif Rp 0,1 per detik ke sesama operator;  sementara Telkomsel Simpati PeDe menawarkan Rp 0,5 per detik.  Indosat Mentari menawarkan Rp 0 pada menit pertama ke sesama operator; dan IM3 menawarkan tarif Rp 0,01 per detik ke seluruh operator untuk percakapan 90 detik pertama dan selebihnya menggunakan tarif Rp 15 per detik ke sesama operator dan Rp25 per detik ke operator lain.  Belum lagi, operator-operator lain kini juga mulai sibuk menawarkan tarif paling murah ke sesama pelanggan dengan syarat dan kondisi tertentu.
Telekomunikasi seluler sangat cepat mengalami difusi teknologi yang dikarenakan keterbatasan dari teknologi telekomunikasi konvensional yang memerlukan waktu lama untuk pengembangan jaringan begitu juga waktu tunggu untuk memperoleh sambungan bagi pelanggan. Hubungan antara persaingan dan difusi dalam literatur ekonomi sering dinyatakan dalam difusi dari inovasi teknologi yang pada umumnya makin banyak jumlah perusahaan maka akan semakin cepat terjadi difusi inovasi. Tidak seperti dalam industri telekomunikasi konvensional yang kebanyakan masih mengikuti struktur pasar monopoli alamiah, telekomunikasi seluler sejak beralih dari analog ke digital struktur pasar monopoli tidak dapat dipertahankan lagi. Inovasi teknologi telah meningkatkan efisiensi dalam menggunakan spektum gelombang radio dan akhirnya makin besar ukuran pasar baik bagi pelanggan maupun operator. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa meningkatnya potensi pasar akan mendorong banyak operator yang masuk ke industri ini.
Dengan perkembangan yang ada itu sebenarnya lumrah saja kalau kemudian ada yang bertanya apakah memang pelanggan telepon seluler selama ini telah diperlakukan secara wajar oleh para operator telepon?  Pertanyaan ini muncul karena memang pelanggan tidak memiliki informasi yang cukup mengenai berapa sebenarnya biaya produksi yang dikeluarkan oleh para operator untuk menyediakan jasanya ke publik.  Memang bukan menjadi kewajiban operator untuk mendeklarasi urusan internal perusahaannya ke publik, tetapi persaingan tarif yang terjadi sebenarnya secara implisit mengindikasi adanya ketidakwajaran perolehan manfaat antara produsen dan pelanggan telekomunikasi.  Pelanggan sebenarnya juga menyadari bahwa investasi di telekomunikasi tidak bisa tergolong murah, terutama untuk mendapatkan lisensi, memilih platform teknologi, dan kemudian membangun infrastruktur fisik yang tersebar di seluruh wilayah negeri.  Masyarakat kemudian bisa menerima berapa pun tarif berbicara via telepon seperti yang ditawarkan oleh para operator. 
Masyarakat di negeri ini nampaknya kini lebih cenderung untuk memperhatikan pada berapa besaran ongkos percakapan yang wajar dibanding dengan membuat kalkulasi bertelepon dalam satuan waktu tarif percakapan per detik yang murah.  Hampir semua operator memang memberi harga penawaran yang relatif lebih murah untuk percakapan ke sesama operator dibanding tarif antar operator.  Satu hal yang perlu mendapat perhatian bersama adalah bahwa jebakan tarif seperti yang terjadi ini sebenarnya mengingatkan masyarakat pengguna jasa telepon seluler untuk lebih berhati-hati atau lebih pas untuk dikatakan lebih cermat terhadap tawaran telepon murah yang diluncurkan oleh para operator.
Pada dasarnya iklim persaingan yang dihadapi oleh operator telepon seluler di Indonesia kini sudah mendekati pada situasi yang bersifat oligopoly.  Ada tiga karakteristik kunci yang melekat pada situasi pasar oligopoly, yaitu: (1) pergerakan industri didominasi oleh kiprah beberapa operator dengan skala besar; (2) masing-masing operator menjual atau menawarkan produk yang identik atau memiliki pembedaan yang relatif terbatas; dan (3) industri memiliki barrier to entry yang signifikan besarannya sehingga tidak mudah bagi pendatang baru untuk masuk ke dalam industri yang dimaksud.  Dari perspektif operator telepon seluler, penerapan strategi pemasaran pada situasi pasar yang bersifat oligopoli tentu memerlukan upaya ekstra terutama dalam memaknai elastisitas harga terhadap besaran permintaan pulsa oleh pelanggan.
Dengan mencermati perkembangan pasar yang ada sekarang ini, sebenarnya masih ada peluang bagi para operator untuk mendongkrak tingkat penetrasi pasar, terutama untuk segmen yang berpotensi menjadi pengguna jasa telekomunikasi di masa datang.  Hanya saja, hal yang mungkin perlu diwaspadai oleh para operator adalah bahwa bisa saja, karena faktor emosi sesaat dalam menetapkan tarif psikologis seperti yang diadopsi para operator selama ini, justru akan berpengaruh pada pergeseran perilaku pelanggan untuk beralih operator (switching behavior).  Kalau hal ini terjadi, maka tidak mustahil kalau pada gilirannya nanti loyalitas pelanggan terhadap suatu produk atau operator telepon tertentu menjadi sesuatu yang sulit dicapai.  Pelanggan mungkin saja tetap mendapat kepuasan terhadap suatu operator tertentu, namun tetap saja mereka beralih operator, karena alasan satu dan lain hal.
            Tanggapan saya atas masalah yang terjadi diatas adalah seharusnya para operator telepon seluler memberikan harga yang sesuai dengan jasa yang ditawarkan tanpa memberikan wacana yang memberikan harapan palsu pada masyarakat. Bersaing boleh tetapi mereka tidak boleh mengabaikan masyarakat pengguna telepon seluler karena masyarakat ingin menggunakan telepon seluler untuk memudahkan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Dengan adanya perbedaan jasa dan biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi jasa publik ini, masyarakat tentunya akan berganti operator atau memiliki lebih dari dua operator karena setiap operator menawarkan jasa yang berbeda dengan biaya yang dikeluarkan. Bahkan ada beberapa operator yang menawarkan jasa dengan biaya yang murah, namun pada kenyataannya jaringan telekomunikasi operatornya tidak disemua tempat dapat dijangkau dan itu membuat seseorang harus memiliki setidaknya dua operator yang berbeda. Saya berharap semoga masyarakat pengguna layanan telepon seluler mendapat nilai yang optimal dari harga yang dikeluarkan sehingga apa yang akan digunakan sesuai dengan harga yang akan dibayarkan dan kenyamanan serta keamanan dari pelacakan nomor dapat dikurangi resikonya.




Daftar Pustaka

http://ardra.biz/ekonomi.Tanpa Angka Tahun.”Pengertian,Ciri-Ciri Pasar Oligopoli”, dalam ardra.biz. Diunduh Jumat, 10 April 2015.
Utomo,Hargo.2014.”Pasar Oligopoli pada Industri Telekomunikasi”, dalam MM. http://mm.feb.ugm.ac.id. Diunduh Jumat, 10 April 2015.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Kuliah Planologi-Analisis Pusat Pelayanan dengan Menggunakan Skalogram (Skala Guttman)

Tugas Kuliah Planologi-Teori Perencanaan

3 Variety Show Korea Paling Lucu dan Konyol