Cerita Pendek-When Tomorrow Come



When Tomorrow Come...

Created by #LIR


Pada suatu musim yang panas, dan kekeringan seketika melanda negeriku terutama lahan pertanian dan perkebunan dan masa-masa sulit bagi petani pun datang. Maklum aku belajar penataan ruang, jadi hal seperti itu akan menjadi perhatian dan masalah. Pada musim itulah aku menyelesaikan masa kuliahku di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Saat terindah bagi seseorang yang telah berhasil memindahkan tali toga dari kanan ke kiri. Ya, I did it, Einsna Mountaina,S.TPWK. Dan sekarang aku kembali pada kenyataan yang sesungguhnya, mungkin seribu pertanyaan dan pernyataan dari orang-orang akan menghujaniku.
“Kamu kerja dimana?”,
“Kamu nikahnya kapan?”,
“Balik ke daerah itu bagusloh”,
“Jadi PNS saja, lebih terjamin”,
“Apa kamu memiliki rencana untuk meraih magister?”,
“Manfaatkan masa mudamu, nogu”.
Well, aku bekerja di salah satu real estate development  multinasional di Jogja, hal ini memungkinkanku untuk tidak kembali ke daerahku. Keputusan inipun menjadi hal yang kelam bagi mama dan saudara laki-lakiku, panggil saja dia bg Rick, Erick Mountaina. Aku menyukai pekerjaan ini sejak bg Rick menjadi developer di daerahku. Aku ingin menjadi seperti dia tanpa harus berada dibawah bantuannya.
“Aku rasa mama dan bg Rick pasti mengerti ini, bukan?”. Hawa panas saat itu seolah menjadi suhu terendah yang pernah kurasakan dalam satu musim panas.
“Kan aku udha bilang, aku bakal bantuin impianmu menjadi developer , Eins. Bg Rick ga mungkin biarin kamu bertahun-tahun tinggal jauh di perantauan, dan sudah saatnya kamu harus mencari seseorang yang bisa menjagamu”, jawab bg Rick.
“Bg Rick, aku rasa satu bulan terakhir ini kita selalu membahas ini. Tenang bg Rick, aku lagi bergumul soal itu tapi Tuhan masih belum menjawabnya. Mungkin aku harus bersama dengan seseorang yang bukan berasal dari suku kita”. Pernikahan antar suku sangat diinginkan oleh orangtua, entah itu sejarah atau kebiasaan hal ini telah mendarah daging, sejauh-jauhnya engkau merantau, kamu harus tetap memilih pria yang berasal dari daerahmu sebagai pendampingmu.
“Karena ini untuk kebaikanmu, Eins”, ujar Mama dengan pelan. Kurasa mama ingin melerai perdebatan yang tak berarti ini.
“Baiklah, karena kamu keras, kita akan buat perjanjian”, ujar bg Rick dengan nada tegas. Suhu mulai menghangat saat itu, inilah konklusi dan konsekuensi yang harus kujalani.
“Perjanjiannya adalah kamu akan dijodohkan dengan siapapun itu, tapi jangan khawatir, kami akan memilihnya yang terbaik dan sepada denganmu. Dan...jika kamu merasa tidak cocok kamu bisa mengatakannya. Bg Rick dan Mama tidak akan memaksakanmu”. Lega rasanya mendengar kalimat terakhir dari bg Rick, dia adalah orang yang tegas terhadapku itulah caranya dia melindungiku.
“Baiklah, bg Rick dan Mama. Aku penuhi itu. Aku siap karena kurasa aku ga cukup waktu untuk mencari orang yang tepat disini”. Hari itu berakhir seketika. Setelah hari itu, Mama dan bg Rick harus kembali pulang karena kakak iparku sedang mengandung 8 bulan.
Hari-hari kujalani sendiri, hembusan angin membawaku pada kenyataan terhadap kesenderianku. Aku bertelut dan berdoa kepada Tuhan akan setiap pergumulan hati yang terasa selama ini.
Dan pada suatu malam ketika musim panas berganti musim hujan, dalam tidurku, aku terbawa dalam mimpi yang sangat kurindukan.
--Mimpi--
“Pa? Papa ?”, ujarku melihat sosok seorang ayah yang telah meninggal 8 tahun yang lalu.
“Kemarilah”, ujarnya tenang. Sosok seorang yang mengenakan pakaian putih panjang, wajahnya sangat cerah, dan kami duduk di satu bangku yang sangat indah dan saat itu aku merasa kami sedang berada di puncak gunung.
“Bagaimana kabarmu?”,
“Aku baik, Pa. Papa pasti senang kan sekarang? Anak Papa sudah sukses”, ujarku senang sambil memeluknya erat.
“Belum, nak. Erick sukses karena ia bisa membahagiakan Mama, dan Papa karena bisa menggantikan peranku bagi kalian. Dan kamu, Eins, kamu hanya membahagiakan Mama kamu saja, Papa belum”. Waktu berhenti, berpikir ulang akan setiap hal yang kulakukan. Hening. Papa memandangku dan tersenyum.
“Dulu waktu kamu masih remaja, Papa pernah bilang kalau kamu harus menikah dengan orang yang tepat. Dan sampai sekarang Papa belum melihat kamu dengan orang yang tepat”, ujar Papa.
“Tapi, Pa. Pa, aku masih belum siap, bagaimana jika dia tidak bisa menerima aku dengan pekerjaanku, bagaimana jika kami harus long distance marriage?”,
“Nak, Papa kan sudah bilang, dengan orang yang tepat. Orang yang tepat itulah yang akan membawa kamu dalam sebuah perjalan baru dan saat itulah kamu belajar tentang pergorbanan”,
“Pengorbanan? Bukankah selama ini aku banyak berkorban, Pa?”,
“Kamu sudah belajar berkorban untuk hal yang kecil, Eins. Dan saatnya kamu belajar berkorban untuk hal yang besar”,
“Tapi bagaimana kalau Eins nggak bisa menjalaninya, Pa?”,
“Itulah mengapa Papa bilang orang yang tepat, dia yang akan meng-handle semua itu dan kamu akan belajar banyak sebelum kamu bertemu dengannya. Kamu akan belajat menjadi perempuan dan wanita yang baik. Kamu dan dia sepadan, Eins”,
“Lalu siapa dia?”,
“Dia adalah orang yang akan dipilih oleh Mama dan Erick. Kamu akan mengenalnya, tanpa melihatnya, tapi darisitulah kamu akan mengenal pribadinya. Dan pada kehidupan nyatanya, kamu dan dia pernah bertemu sebelumnya”,
“Maksudnya, aku dan dia pernah bertemu sebelumnya, Pa? Apa dia mantan pacar?”,
“Bukan, sayang. Dia adalah orang yang Papa, Mama, Erick percaya untuk menjaga kamu, dia adalah teman bagimu, tapi kamu belum mengenal baik siapa dia”,
“Tapi siapa,Pa?”. Hembusan angin menerbangkan debu jalanan yang menghalangi pandanganku dan saat itulah aku tak melihat Papa lagi. Hanya terlihat bintang-bintang yang mengitariku.
--
Aku terbangun dan tersadar. Hembusan angin lagi-lagi menerbangkan gorden jendela kamarku dan cahaya itu menusuk mataku, menghangatkan tubuhku dan membuat kamarku tampak terang dan bersinar.
Start where you are. Use what you have. Do what you can. -Arthur Ashe-“.
Aku sudah memulai di tempat ini. Aku meraih notes kecilku dan menulis beberapa hal yang akan kulakukan sebelum aku dipertemukan dengan ‘orang yang tepat’ itu.
“Belajar memasak, belajar fashion, belajar keuangan, bersosialisasi, dan belajar firman dari Alkitab, itulah yang akan kulakukan selama 3 bulan, how to be good woman”.
--3 bulan berlalu--
“Eins, bapak ingin bertanya satu hal padamu”, ujar Pak Halim, dia adalah direktur kantor tempat aku bekerja, dan dia sudah menganggapku sebagai putrinya sejak aku magang di kantor ini. Pak Halim hanya memiliki seorang putra, Gaizka Quierro Halim. Dan Pak Halim adalah seorang duda, dia adalah satu-satunya duda yang kutemui yang tak ingin menikah lagi.
“Kamu rindu dengan keluargamu?”, tanya Pak Halim.
“Yaa, rindulah, Pak. Bapak kan tau sendiri, keluargaku tidak terlalu menyetujui kalau aku bekerja diluar daerah seperti ini”,
“Eins, bapak sudah memutuskan ini dengan bijak. Bapak mengerti kemauan dan impian kamu. Tetapi satu hal yang ingin bapak pesankan sama kamu, sudah saatnya kamu bersama ‘orang yang tepat’, bapak juga bahagia kalau putri bapak bahagia. Bapak akan membiarkan kamu pulang tetapi sekali seminggu mungkin kamu harus ke Jogja. Di daerah mu setahu bapak, ada real estate development  multinasional yang berpusat di Jakarta, dan direkturnya adalah sepupu saya. Saya akan menitipkan kamu bekerja disana. Dia akan mengajarkan kamu banyak hal disana”.
“Tapi Pak, kita kan beda perusahaan dengan dia?”,
“Iya, tetapi perusahaan dia dan kita sama-sama menjadi sponsor antar perusahaan. Bisa dikatakan kita memiliki hubungan kerjasama”,
“Lalu bagaimana jika aku berhenti karena sesuatu hal?”,
“Hahaha Eins..Eins..Apapun itu kamu pasti memutuskannya karena sesuatu hal kan? Bagi Bapak yang penting keputusan itu tidak membuatmu sedih dan menyesal, tetapi kamu bahagia. Karena saat kamu berhenti, kamu berhenti untuk mengejar impianmu, tetapi kamu akan belajar makan berkorban. Mungkin saja bukan melalui perusahaan ini kamu mewujudkan impianmu”,
“Iya, Pak. Aku cukup lega, sampai saat ini aku sudah memanfaatkan waktu ini dengan baik. Trimakasih ya, Pak”.
Menunduk, dan Pak Halim menghampiri dan memelukku.
“Jangan sedih, segala sesuatu ada masanya, nak. Sudah saatnya, bapak dan putrinya berpisah. Kamu sudah menjadi wanita, Eins. Saya akan selalu menunggu kabar baik darimu, kabar apapun, ceritakanlah padaku. Dan jika kamu bertemu dengannya ceritakan padaku, saya juga ingin mengenal seorang yang bisa membuat putri bapak bahagia”.
Ketika air mata tak terbendung lagi, tangisku meluap, aku memeluknya erat. Dia adalah ayah kedua ku yang telah Tuhan kirim sebagai penolongku.
--Seminggu berlalu--
“Halo, Ma//Iya,ma ini aku udah di bandara//Eins take off  jam 09.45, Ma//Iya,Ma. Luv u too”.
Langit yang cerah akan membawaku hari ini, dan aku akan terbang tanpa sayap melintasi awan dan badai yang mungkin bisa saja terjadi diatas sana, tetapi hal ini dan itu tidak akan menghalangiku untuk berhenti berjuang.
09.45 take off   dari Bandar Udara Internasional Adisutjipto
10.50 landed di Bandar Udara Internasional Kualanamu
11.30 take off   dari Bandar Udara Internasional Kualanamu
12.55 landed di Bandar Udara Binaka
-- Welcome to Nias Island--
Langit yang cerah menyambut kedatanganku, awan tersenyum melihat langkah pertamaku, dan angin berhembus lembut menyejukkan suasana siang ini.
“Hai, sayang”, ucap hangat Mama dan memelukku.
“Bg Rick (high five)”. Semua bahagia, semua tersenyum, semua merasa hangat, semua tertawa, aku akan menemukan kebahagianku disini.
--Rumah--
“Wahh, bg Rick masih ngejaga keaslian rumah ini hahaha”, ucapku sambil tertawa.
“Apaan sih dek, aku udah buat kamar kamu sesuai keinginanmu. Lihatlah kamarmu” sambil menunjuk kamar baruku.
“Wahh kurasa ini ke-7 kalinya aku pindah kamar bg Rick”,
“Ya, apasih yang enggak buat bahagiamu”, ucap bg Rick.
Aku pun beranjak menuju kamarku yang berada di lantai atas dan pintunya tertulis “Eins M room’s”. Dan aku perlahan membuka pintunya, anggap aja ini suprising .
“Daebak, kamarnya sesuai dengan permintaanku. Bg Rick trimakasihh yaaa (teriakku)”.
“Kamar ini belum lengkap tanpa dekorasi tambahan. Okeii baby, let see what I wanna do for you”.
Lampu natal adalah hal yang penting untuk menerangi tempat tidurku, bingkai qoutes yang paling kusuka tertempel rapi di dinding kamarku, dan foto, dan satu lagi buku-buku penting untuk mengisi lemari kaca kecilku dan beberapa hiasan kamar yang terbuat dari besi dan keramik.
And perfect “.
Perjalanan yang cukup panjang hari ini, lantas membuatku mengantuk.
-18.30-
“Einss...sayang..bangun”, ujar Mama.
“Emm udah pagi aja yaa Ma”, “Astagaaaa...”. Membuatku sontak meloncat dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.
“Eins ini baju jam setengah 7 malam”, teriak Mama.
Aku pun keluar dari kamar mandi sambil senyum-senyum manja godain Mama.
“Hemm, ayo makan. Kita ada pembicaraan penting”, ujar Mama senyum tampk serius.
“Mama tunggu di bawah ya, cepet mandii gih”. Mama keluar dari kamar dengan wajah sumringah, apakah ini tentang perjodohan? Entahlah hanya Mama, bg Rick, Kak Jes, dan Tuhan yang tahu.
-Ruang Makan-
“Woww makanan kesukaanku semua...”, ujarku.
Mejanya penuh dengan makanan kesukaan, ada ikan asin, sayur gule, agar-agar, ayam semur, acar, sate, dan jus durian.
“Wah, bisa diabetes nih kita Ma”,
“Hahaha makanlah, kamu pasti udah lama tidak makan seperti ini kan”,
You know me so well, Mom”,
“Apa artinya itu kak?”, tanya Mama, KEPO.
“Artinya Ma, Mama tau aja keinginan Eins hahaha”. Makan malam ini, kenyang, mungkin jika ini berlebih aku ingin sisakan untuk makanan besok. Makan malam ini telah selesai dan tiba saatnya, hal yang paling menegangkan segera diangkat ke permukaan.
“Ma, bg, Eins, ini ada buah segar”, kak Jes memang alih masalah kesehatan karena dia seorang dokter, itulah mengapa buah selalu jadi ciri khas dalam diet yang dianjurkannya padaku.
“Tentu kak Jes”, sambil senyum.
“Okeii, sambil menikmati hidangan ini aku ingin kita semua fokus pada pembicaraan kali ini”.
Lampu ruang makan seketika padam, hanya lilin yang menerangi. Mama, bg Rick dan kak Jes memakai baju serba putih dan aku memakai baju hitam. Dan makanan yang diatas meja berubah jadi foto-foto pria tak kukenal. Aku terpaku.
“Ahhhh”, rintih sakit. Seseorang sedang menyubit lenganku.
“Kamu sih melamun, fokus Eins”,
“Tentu bg Rick”.
“Aku yang akan mewakili Mama dan kak Jes untuk hal ini. Jadi gini Eins, kami sudah menemukan orangnya. Sebenarnya ada 2 orang yang datang ke rumah dan menemui kami. Yang pertama adalah seorang jaksa yang bekerja di pengadilan negeri kota ini dan orangtuanya cukup dikenal karena orangtuanya bupati di salah satu kabupaten. Yang kedua adalah seorang developer, kamu tahu perusahaan real estate yang berdekatan dengan rumah sakit kita? Dia bekerja disitu dan dia jabatannya tinggi, dia sudah memiliki kendaraan pribadi dan rumah. Awalnya aku ingin mengenalkan keduanya padamu, tapi hal itu kurasa tidak perlu. Jadi aku, Mama, dan Jes bergumul selama 2 minggu untuk menentukannya. Dan akhirnya kami memilih yang kedua. Karena dia adalah temanmu..”,
“Seangkatanku?” tak sengaja memotong pembicaraan bg Rick. Bg Rick menatap serius kearahku.
“Eins, kami tau tipemu, dan dia bukan seangkatanmu. Dia dewasa dan kami sudah berbicara ke keluarga besar kita dan setelah bertemu dia, keluarga besar menyetujui. Sekarang tinggal kamu, keputusanmu. Dan aku yakin dia bisa menjagamu, aku tidak mungkin memilih yang salah untuk adikku”,
“Eins, Mama melihat, dia anak yang jujur dan peduli terhadap perempuan. Dia anak yang mandiri dan menurut teman-teman kamu dia adalah orang yang tepat jika disandingkan denganmu”,
“Eins, dia adalah seorang yang humoris, dia bisa menandingi sikap petakilanmu. Dia juga sangat dekat dengan Tuhan. Sebelum dia kerumah ini dan menemui kami, dia berdoa puasa dan dia juga memiliki kakak rohani untuk konseling dan jawabannya ada di rumah ini”.
Saat itulah pikiranku menjadi kosong, berada dalam ruang hampa dan semua hal yang kualami dalam alam bawah sadarku menjadi kenyataan.
“Iya, aku ingin mengenalnya”, dengan wajah datar aku mengakui hal ini didepan Mama, bg Rick dan kak Jes.
“Kamu serius kan dek? Karena aku tidak ingin diantara kalian ada yang tersakiti”, ujar bg Rick.
“Ma, bg Rick, kak Jes, mungkin ini agak sedikit aneh kedengarannya tapi ini tulus dari hatiku. Dia adalah orang yang tepat bagiku. Apapun nanti yang akan terjadi kedepan, aku akan menjalaninya, dan kalaupun aku mengorbankan pekerjaanku, aku akan mengikhlaskannya. Karena impianku sebenarnya hanya untuk memenuhi kepuasan suksesku semata buka karena aku ingin membangunnya dengan sungguh-sungguh”, ujarku. Aku tersenyum sambil memandang ketiga orang yang paling kusayangi itu, mata berbinar dan semuanya tetap pada posisinya karena tidak ingin ada tangis cukup haru dan ketenangan saja yang menghiasi suasana malam itu.
“Baiklah, apakah kamu ingin menemuinya?”,
“Tentu, katanya dia adalah temenku? Aku jadi penasaran”,
“Seperti dugaanku. Hal ini pasti terjawab. Besok malam, kalian akan bertemu”,
“Besok? Dimana?”,
“Besok malam jam 19.00 di Resort Restaurant and Cafetaria lantai 2, reserved by Erick”,
“Okeii, aku akan bertemu dengannya besok”,
“Dia akan menghubungimu besok pagi”.
Malam itu mungkin jadi harapan baru buat keluargaku dan terutama buat diriku sendiri, mungkin hari-hariku akan diwarnai olehnya.
-Esok hari-
Hari ini cerah, cerah banget hingga mataku tak sanggup lagi menatap wajah matahari. Hari ini awan terlihat lebih bersih, awan hari ini terlihat lebih putih dan wajah keluargaku hari ini jauh lebih bersinar. Dan aku, hari ini jauh lebih baik dan jantungku berdetak lebih kencang.
Malam yang ditunggu pun datang, dan SMS pun datang.
“Message : Hai, aku memakai kemeja merah maroon. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu lagi. Hati-hati di jalan ya Eins J”.
“Answer : Hai juga. Aku memakai blus biru dan rok putih. Katanya aku mengenalmu, semoga hari ini berjalan dengan baik.hati-hati di jalan juga yaa X (sorry I don’t know what you’re name)”.
“Message : Hahaha It’s okay”.
Ketika telah sampai di tempat yang mungkin adalah tempat baru di kota ini, tempatnya sangat indah karena menunjukkan setiap sudut kota disaat malam. Untuk pertama kalinya aku melangkahkan kakiku, dan pada saat itulah kakiku kembali mundur ragu.
“Apa semua akan baik-baik saja? Apa ia akan menerima segala kekuranganku? Bahkan apa ia sanggup LDR-an saat aku harus keluar kota mengurus pekerjaanku? Apakah aku menyukai pekerjaannya? Apa mantannya banyak?”, seketika semua menghantui pikiranku.
“Aaachh”, lesuhku. Seseorang menyenggol bahuku.
“Eins? Kamu Eins kan. Hahaha hai Eins?”, ujar salah seorang perempuan yang sebaya denganku.
“Hally? Haii juga Hal”, jawabku dengan setengah sadar dengan pikiran yang berbeda dalam diriku.
“Kamu masih sendiri aja? Heii Eins, sampe kapan ngejoblo hahaha. Oiya, kamu kenal babang ini kan?”, tanyanya sambil mengarah pada orang disampingnya.
“Babang? Oh, haii Babang”, ujarku ramah.
“Eins, maksudnya babang itu ‘abang’, namanya itu Babang Iky”,
“Iky?” tanyaku dengan wajah sedikit geli.
Sorry, namaku Rizky, itu panggilan sayangnya”, ujarnya maco, maybe.
“Okeii, namaku Eins. Salam kenal J, aku masuk duluan Hal, bg Rizky”.
Aku beranjak pergi dan bergegas kedalam. Saat itulah aku terpukau dengan seni tempat ini, mungkin akan bersaing dengan restoran keluarga kami. Hanya saja tempat ini cukup ‘glamour’ dan kebanyakan yang berkunjung kesini adalah remaja sekitaran anak sekolahan hingga single man atau ladies dan juga people dating. Dan di tempat ini terdapat kolam renang. Tak terbayang jika tempat ini tidak dikontrol dengan baik oleh pemiliknya.
“Hai Eins”, seseorang memanggilku. Mungkin aku cukup dikenal, tepatnya keluargaku.
“Maaf apa kamu memanggilku?”, tanyaku dan menoleh kearah seseorang yang tak kukenali.
“Aku tidak memanggilmu, aku hanya menyebut Eins. Jadi jangan geer”,
“Dasar cowok ga jelas”, ujarku cuek.
“Heii apa yang kamu katakan barusan?” ujarnya dan menghampiriku.
“Merasa? Syukurlah”. Ketika aku melangkahkan kakiku, dia menahan tanganku.
“Lepasin nggak?!”, ujarku tegas.
“Kamu ini masih single  ya? Bisalah kamu jadi pacar aku”,
“Huh?!”, sembari berusaha melepaskan genggaman tangannya terhadapku.
“Lepasin dia”. Seseorang menepuk bahu lelaki itu.  Lelaki itu pun melepaskan tanganku dan menoleh ke belakang.
“Bg Sam? Maaf bg Sam, aku ga bakal ngulangin lagi”, ucapnya ketakutan. Badan lelaki itu cukup besar sehingga aku pun tidka mampu melihat lelaki lain yang didepannya itu. Dia pun meninggalkan kami dan kembali ke teman-temannya yang berada di pojok ruangan itu dan lelaki itupun tak kelihatan lagi.
“Bg Sam? Namanya cukup familiar bagiku. Mungkin orangnya berbeda karena yang kukenal itu adalah orang yang membenciku sejak dulu”, desahku dalam hati.
Langkahku pun menuju kasir untuk menanyakan meja yang telah dipesan oleh bg Rick.
“Atas nama Erick”,
“Tentu, berada di lantai 2 meja 9. Seseorang telah berada disana sebelum anda”,
“Baik, trimakasih”.
Hari ini 2 September, aku akan menentukan langkah baru bersama seseorang.
“Baiklah, ini komitmenku. Aku sudah belajar banyak menjadi seorang wanita dan aku bisa mengaplikasikannya. Aku juga sudah mengenal dia melalui cerita dari keluargaku. Hari ini apapun kenyataannya, dengan segenap hati dan jiwaku akan menerima kekurangannya, Tuhan Yesus, aku percaya ini adalah jawaban doa setelah hampir 5 tahun sendiri”, bergumam mmebulatkan tekad sambil menuju meja itu.
Dan...
“Tas? Jaket? Hp? Kurasa dia pergi ke toilet. Baiklah aku akan menunggunya”.
“Kok aku jadi deg-degan gini. Hari besok telah menjadi hari ini. Semoga baik-baik saja”, ujarku menenangkan diri.
“Bg Sam?”, aku berdiri yang seseorang datang dan dia adalah seniorku dulu, benar, seseorang yang pernah dan bahkan mungkin masih membenciku untuk alasan yang sama sekali belum kuketahui hingga kini.
“Bg Sam, ada apa ya?”, ujarku kaget.
“Bukannya kamu sedang menunggu seseorang?”,
“Bagaimana bg Sam tahu?”, menatapnya serius.
“Aku adalah orang yang akan menemuimu malam ini”.
Akhirnya semua jelas, siapa dia, bagaimana dia, dan mengapa dia? Hal itu membuatku terjatuh duduk diatas kursi. Sesuatu yang sulit akan menjadi keputusan yang berat dan disinilah komitmen dan tekad awalku diuji.
*suara gelas pecah, terjatuh dari atas meja*
‘Astaga, Eins. Apa smeua baik-baik saja?”, tanyanya.
Saat itu pandanganku kosong, pikiranku kosong, aku hanya bisa menatapnya tanpa tahu apa yang harus kukatakan dan tanpa sadar,
“Ouchh”, jerit kecilku, ternyata tanpa sengaja aku menyentuh serpihan pecahan gelas itu.
“Anda tidak perlu membersihkannya, biar saya saja”, ucap salah seorang pelayan.
“Pak, ini ada plester. Anda tidak akan membiarkan pacar anda terluka bukan? Permisi”.
“Berikan tanganmu. Aku akan memberinya plester”, ujarnya. Suaranya bahkan terlihat kecil terdengar di telingaku, aku hanya bisa menatapnya.
“Eins, aku akan menjelaskan ini semua. Berikan tanganmu”, sembari mengulurkan tangannya. Saat itulah, aku tahu bahwa, ketika hari esok datang aku tak tahu kenyataan apa yang terjadi tetapi kenyataan yang terjadi akan baik jika semua memiliki respon hati yang benar.
“Tidak apa-apa. Tanganmu akan sembuh”, dia meniup lembut jari yang telah terluka itu. Dia duduk tepat didepan mataku. Selama 30 menit, kami berada dalam keheningan dan saling menatap satu sama lain, berusaha membaca pikiran dan berusaha menguasai diri.
“Baiklah, aku akan memulainya. Aku tahu ini..”,
“Bg Rick ngasi kamu waktu sampai jam berapa? Aku punya jam malam sampai jam 9 untuk pulang ke rumah”, ujarku memotong pembicaraan awalnya.
“Erick memberi waktu yang bebas, aku akan mengantarmu ke rumah sakit nanti”,
“Lalu...”, ujarku sambil menatap kosong kembali ke arahnya.
“Eins. Aku akan menceritakan semuanya padamu dari awal. Apa kamu akan mendengarnya?”,
“Emm, aku akan mendengarnya”,
“Baiklah. Dulu, saat itu aku tidak membencimu tapi aku menjauhimu saat itu karena aku takut kita di ceng-cengin dan aku takut kamu baper dan aku tidak bisa membalas perasaanmu saat itu. Hingga akhirnya aku tahu sikapku itu salah karena aku sadar kamu menganggapku hanyalah seorang abang dan senior, kamu hanya berusaha menjalin hubungan yang baik, tapi aku malah gituin kamu sehingga semua jadi terlihat baik. Dan setelah kamu lulus, aku merasa ada yang aneh dan aku bercerita ke pendeta gerejanya kita, aku baru tahu seandainya terkadang banyak hal indah dari setiap caranya Tuhan. Akhirnya, aku memutuskan untuk mencari tahu dirimu, dan aku meminta tolong ke Mama dan Mama mengiyakan. Saat itulah prosesnya dimulai. Semua hal berjalan begitu saja, Mama dan Erick juga setuju, Mama aku juga setuju dan semua berjalan hingga hari ini tiba. Aku sudah lama menantikan hari esok, dan hari esok itupun adalah hari ini”, ungkapnya panjang.
“Hal yang perlu bg Sam tahu adalah aku menyukai bg Sam. Sempat dulu dan rasa itu, aku gatau terbang entah kemana. Awalnya aku bisa move on, karena aku yakin itu pasti hanya kagum dan suka biasa yang akan hilang ditelan waktu. Dan akhirnya aku membiarkan perasaan itu pergi dan tak tahu apa masih ada atau tidak”, jawabku tenang. Perlahan aku membuka pikiran dan mata hatiku kembali, hari esok telah menjadi hari ini, saatnya mewujudkan apa yang telah menjadi bahan pembicaraan awal sebelum hari ini.
“Ya, ini berawal dari sesuatu yang cukup buruk, hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Dan aku pribadi, Eins. (dia mendekatiku dan berlutu dihadapanku)”,
“Bg Sam, ngapain? Entar orang akan berpikir yang enggak-enggaj?”, ucapku sambil melihat-lihat sekitar.
“Aku minta maaf, Eins. Dan dari hatiku yang paling dalam, apakah kamu mau...Em maksudku, apakah kamu mau melanjutkan hubungan ini?”, tanyanya serius.
“Baiklah, kita mulai dari awal lagi dengan baik. Namaku Eins J”, jawabku sambil tersenyum dan menatapnya.
Malam itu, menjadi awal dan malam terbaikku. Hembusan angin membawa kami kedalam kesejukan dan cerita pribadi menjadi topik utama malam itu. Malam itu aku pulang ke rumah sakit jam 2 dini hari. Mungkin ini pertama kalinya aku berani menatap orang yang kusukai dan bertemu lama dengan orang yang kusukai. Rasa yang telah pergi itu telah kembali dan menunjukkan wujudnya malam ini. Hari itu menjadi hari yang akan paling dikenang karena menjadi sejarah dalam keputusan untuk menentukan ‘orang yang tepat’. Aku harap saat ini Papa akan bahagia disana melihatku bahagia dengannya karena dia yang akan menjagaku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Kuliah Planologi-Analisis Pusat Pelayanan dengan Menggunakan Skalogram (Skala Guttman)

Tugas Kuliah Planologi-Teori Perencanaan

3 Variety Show Korea Paling Lucu dan Konyol