Kinerja dan Paradigma Pembangunan ekonomi Indonesia
Paradigma
pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional yang
berfokus pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Ekonom modern
mulai mengedepankan dethronement of GNP, pengentasan garis kemiskinan,
pengurangan distribusi pendapatan yang timpang, dan penurunan tingkat pengangguran.
Pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses multi dimensional (Kuncoro,
2010: 136). Perubahan struktur ekonomi merupakan salah satu indikator adanya
pertumbuhan dalam suatu negara atau daerah. Hal ini sesuai dengan pendapat
Syrquin (1988: 208) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara
pertumbuhan dan perubahan struktural. Studi tentang perubahan struktural
penting dalam menjelaskan proses dan pembentukan teori pembangunan khususnya
pertumbuhan ekonomi modern. Menurut Chenery (1979) pembangunan ekonomi
merupakan sebuah perubahan struktur ekonomi yang dibutuhkan dalam pertumbuhan
berkelanjutan (lihat Syrquin, 1988: 208).
Pelaksanaan
pembangunan di negara berkembang penekanannya pada upaya peningkatan pendapatan
masyarakat dan pertumbuhan
pendapatan nasional. Dalam hubungan ini, PBB mencanangkan dasawarsa pembangunan
pertama berlangsung pada dasawarsa 1960-1970 dengan strategi pertumbuhan
ekonomi negara berkembang sebesar 5% per tahun. Tokoh-tokoh seperti
Harrod-Domar, Nurkse, Kuznets, Prebisch, Rostow, Singer, Meir, Lewis,
Hirschman, dan lainnya mempunyai pengaruh yang besar dalam paradima pertumbuhan
ini. Mereka memberikan pemaknaan pembangunan yang hanya identik dengan
pertumbuhan ekonomi. Meir (1984) misalnya, menyamakan pembangunan dengan
pertumbuhan riil pendapatan per kapita. Sementara itu, Rostow (1960) memandang
masalah pembangunan semata-mata mentransformasi masyarakat tradisional menjadi
masyarakat modern melalui suatu proses pertumbuhan yang unilinier, yang berarti
bahwa setiap negara diharapkan mengikuti alur pembangunan yang sama tanpa perlu
memerhatikan kondisi awal negara yang bersangkutan, seperti latar belakang
sejarah, struktur sosial, budaya, ketersediaan sumber daya alam dan manusia,
orientasi politik, dan sebagainya. Rostow kemudian mengemukakan lima tahap yang
dilalui oleh suatu negara dalam proses pembangunannya, yaitu tahap Traditional
Society, Preconditions for Growth, The Take-off, The Drive to Maturity, dan The
Age of High Mass Consumption.
Sementara
menurut Chenery dan Syrquin (1975), bahwa perkembangan perekonomian akan
mengalami suatu transformasi, baik yang menyangkut konsumsi, produksi, maupun
lapangan kerja, dari perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian menjadi
perekonomian yang didominasi oleh sektor industri dan jasa. Dalam paradigma
pertumbuhan ini, kinerja pembangunan hanya diukur dari indikator-indikator
makro ekonomi, seperti pertumbuhan pendapatan riil per kapita. Laju pertumbuhan
ekonomi dipengaruhi terutama oleh determinan-determinan ekonomi, berupa rasio
tabungan, yaitu proporsi pendapatan nasional yang tidak digunakan oleh
masyarakat dan rasio modal output yang mencerminkan tingkat eisiensi ekonomi
nasional. Tugas utama pemerintah dalam pembangunan adalah meningkatkan dan
memacu pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan rasio tabungan dan menurunkan
rasio modal output. Dengan deinisi semacam itu, bisa dipahami bahwa keadilan
sosial dan pengentasan kemiskinan menduduki prioritas kedua bagi paradigma
pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ini.
Cara
pandang di atas mendominasi pemikiran-pemikiran para ahli dan sampai sekarang
masih banyak pengikut dan pendukungnya meskipun bukti-bukti empiris dan uji
teoritis menunjukkan bahwa trickle down effect tidak pernah terwujud khususnya
di negara-negara yang sedang berkembang. Dalam membela gagasan ini, Simon
Kuznets salah satu pemikir kelompok ini, berpendapat bahwa laju pertumbuhan
ekonomi yang tinggi disertai distribusi pendapatan yang lebih baik hanya akan
terjadi setelah periode peningkatan tingkat pertumbuhan ekonomi yang disertai
dengan distribusi pendapatan yang jelek. Gagasan ini dikenal sebagai kurva U
terbalik dari Simon Kuznets. Dalam mencapai pertumbuhan ekonomi ini, di antara
para pemikir ada beberapa perbedaan tentang bagaimana untuk mencapai
pertumbuhan itu.
Pertama,
modal kapital sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Pemikiran ini dimunculkan
oleh Nurkse (1962) dan Lewis (1955) yang menyatakan bahwa pembentukan modal
merupakan pokok persoalan pembangunan yang membedakan negara sedang berkembang
dengan negara maju. Meningkatkan kapasitas negara-negara sedang berkembang
untuk mengalihkan sebagian dari sumber daya yang tersedia untuk kepentingan
peningkatan cadangan modal guna menjamin peningkatan output yang bisa
dikonsumsi di masa datang, dan menurunkan rasio kenaikan modal output menjadi
fokus utama para perencana pembangunan.
Kedua,
modal manusia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Ini didorong oleh penemuan
beberapa studi empiris yang menyimpulkan bahwa proporsi kenaikan GNP yang bisa
diakibatkan dengan input modal dan tenaga kerja yang bisa diukur adalah jauh
lebih kecil daripada yang diperkirakan sebelumnya. Sumbangan input modal dan
tenaga kerja hanya menghasilkan 10%-20% dari pertumbuhan total output (Kenndy
dan Thirwall, 1973), sehingga penjelasan tentang pertumbuhan ekonomi di antara
berbagai negara harus dilihat pada faktor residu. Para ahli dan perencana
pembangunan mengidentiikasi modal manusia sebagai faktor residu. Investasi pada
modal manusia akan memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Bergesernya penekanan tercermin dalam kecenderungan negara-negara donor untuk
memfokuskan diri pada bantuan teknis seperti investasi dalam bidang pendidikan
dan perencanaan tenaga kerja, dan bukan pada bantuan modal inansial.
Ketiga,
perdagangan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Salah satu pemikir ini adalah
Nurkse (1962) yang menyatakan bahwa ekspansi besar-besaran yang dilakukan oleh
negara-negara industri yang meningkatkan permintaannya akan bahan mentah dan
bahan pangan dari negara-negara berkembang akan memberikan kekuatan bagi
negara-negara itu untuk berkembang, tetapi tidak bisa diharapkan bisa berfungsi
sebagai sumber pertumbuhan bagi negara-negara berkembang. Hal ini terjadi
karena beberapa hal, misalnya mekanisme harga monopolistik yang dikuasai oleh
pihak pabrik negara maju, tidak elastisnya permintaan dunia akan produk-produk
primer, terlanggarnya jangka perdagangan untuk produk primer, luktuasi harga
yang berlebihan, dan sebagainya.
Pada
periode atau paradigma pertumbuhan ekonomi inilah ada kelemahannya, yaitu
ternyata mengabaikan masalah distribusi pendapatan nasional, sehingga timbul
masalah kemiskinan, penganguran, kesenjangan pembagian pendapatan, urbanisasi,
dan kerusakan lingkungan. Intinya dalam pembangunan yang berorientasi
pertumbuhan, maka perkembangan pembangunan hanya diukur dengan beberapa
indikator, seperti kemampuan suatu negara untuk menciptakan dan mempertahankan
kenaikan tahunan atas GNP. Indeks ekonomi lainnya yang juga sering digunakan
untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan adalah tingkat pertumbuhan GNP per
kapita riil atau setelah dikurangi dengan tingkat inlasi. Indeks ini pada
dasarnya mengukur kemampuan suatu negara untuk memperbesar output-nya dalam
laju yang lebih cepat daripada laju pertumbuhan penduduknya.
Kemudian,
indikator lainnya adalah tingkat kemajuan struktur produksi dan penyerapan
sumber daya manusia, yang biasanya diindikasikan oleh menurunnya peranan
pertanian dan diiringi oleh meningkatnya peranan sektor industri dan jasa. Namun,
implikasi dari indikator tersebut adalah penciptaan industrialisasi
besar-besaran dan kadang kala mengorbankan kepentingan sektor pertanian yang
umumnya berada di pedesaan sebagai bagian terbesar di Indonesia (Todaro, 1997).
Hal inilah yang kemudian menyulut para pemikir ekonomi dan pembangunan untuk
mencari pemecahan dengan paradigma pemikiran baru.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa keberhasilan pembangunan dengan orientasi pada
pertumbuhan ekonomi menjadikan paradigma pertumbuhan menjadi semakin dominan.
Akan tetapi, keberhasilan itu tidak terlepas dari berbagai resiko negatif yang
terjadi. Sebagaimana dinyatakan Tjokrowinoto (1999), bahwa paradigma
pertumbuhan cenderung menciptakan efek negatif tertentu yang akibatnya
menurunkan derajat keberlanjutan pembangunan.
Selain
itu, dimensi sosial pembangunan juga tidak cukup mendapat perhatian. Ini
ditandai oleh terjadinya marginalisasi kekayaan dan kekuasaan, memandang
manusia sebagai salah satu faktor produksi semata, timbulnya dependensi
masyarakat yang terlalu besar, ketidakberdayaan masyarakat menghadapi delivered
development, disparitas struktural maupun regional. Dari paradigma ini kemudian
berkembang pemikiran baru dalam strategi pembangunan yang bisa menyejahterakan
semua kalangan. Paradigma pemikiran pembangunan ini lebih mengedepankan
pendekatan pembangunan manusia (human development) yang ditandai dengan
pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada pelayanan sosial.
Sumber :
Junaedi.
Tanpa Angka Tahun. “Transformasi Paradigma Pembangunan Ekonomi”, dalam pdf. http//www.leutikaprio.com. Diunduh
Senin 29 Juni 2015.
Fernand,
Desi. Tanpa Angka Tahun. “Paradigma-Paradigma Pembangunan”, dalam powerpoint.
http//www.diklatpimlan.files. Diunduh Senin 29 Juni 2015.
Komentar
Posting Komentar