Cerpen - Suara Kaleng
Cerita Pendek
SUARA KALENG
Satu hal yang membuat malam ini menjadi
indah adalah ketika bulan dan bintang menjadi satu, seolah menyatakan kedamaian
sejati. Sosok dengan pakaian lusuh berdiri pada pojok lampu merah, dengan
kelusuhannya ia menunjukkan kekhawatirannya dengan ekspresi murung hingga ia
lupa bahwa ia membiarkan dirinya menunggu hampir satu jam berdiri di tempat
yang sama tanpa berpindah.
“Satu hal yang paling
menyedihkan dalam hidupku adalah kehilangan. Ketika aku kehilangan aku memilih
diam dari keramaian dan tertunduk ditengah perkataan orang bijak. Saat itulah
aku mengumpulkan sisa kekuatan yang masih ada dalam diriku karena hanya aku
yang tahu seberapa kuat aku sekarang”
“Mba, daritadi menunggu disini ya?”,
sosok suara itu mengejutkan sang lusuh.
Ia hanya menatap lemah sosok suara itu
dan berjalan menyebrangi jalan. Seketika jalanan marah dan semua kendaraan
berteriak ke arahnya.
“Heii apa kamu sudah gila!!”,
“Mba ini masih hijau!!”,
“Ehh lo gila yaa minggir lo!!”.
Semua orang berteriak kearahnya, tetapi
ia hanya berjalan tanpa menoleh sedikitpun ke arah sumber suara itu. Seolah
tuli, ia hanya berjalan sejauh ia melangkah. Sosok lusuh itu terus melangkah
dengan wajah khawatirnya. Saat itu hari semakin gelap, ia hanya diterangi oleh
lampu jalan.
“Si lusuh”, ujar seorang dari kejauhan.
Sosok lusuh ini berhenti dan berusaha mencari sumber suara dalam diam tanpa
menoleh sedikitpun.
“Hai lusuh, sampai kapan kamu akan
menjadi seperti ini? Aku tau kamu sedang mengumpulkan kekuatanmu saat ini.
Tapi, apa kamu lupa bahwa begitu banyak orang sekitarmu yang menyayangimu”,
ujar sosok itu lagi.
Sosok lusuh ini mulai gemetar, hingga
pada detik kesepuluh setelah sosok suara ini berbicara, ia menangis dengan
penuh rasa sakit.
“Apa aku selusuh itu?”, jawabnya dalam
tangisnya yang pecah.
“Hei lusuh, sadarlah, kamu adalah
seorang sosok perempuan yang mengagumkan. Kamu adalah terang bulang dan bintang
yang memberikan kedamaian pada waktu malam. Sadarilah itu lusuh? Kamu mungkin
tak mengenal sosok suaraku, tapi aku kenal baik tentangmu. Aku peduli pada
setiap jerih sakit yang kamu rasakan sekarang”, sosok suara itu berhenti.
“Lalu kenapa harus aku? Apa aku sesedih
ini ditakdirkan dalam hidup? Apa aku harus sendiri untuk selamanya? Apa aku
merupakan ‘si lusuh’ bagi semua orang melihatku?”, ia terus menangis dan
menangis ditengah gelapnya malam.
“Kamu adalah terang bulang dan
bintang yang memberikan kedamaian pada waktu malam, apakah kamu akan terus
merasa sakit hingga membuat malam menjadi tak seindah dulu?”
“Rasa sakit ini membuatku
tenggelam dalam rasa kecewa yang dalam. Semua orang hanya melihatku dengan
remeh karena kelemahanku. Tetapi mereka tidak tahu akan apa yang membuatku
terus menunggu dan menanti hingga aku merasakan sakit ini. Andai saja mereka
tahu, apa mereka akan iba padaku seperti sosok suaramu ini yang terus hadir
dalam setiap kenangan malam ketika aku pulang?”
Ia hanya berjalan lurus, berbelok ke
kanan, kemudian belok kiri dan belok kanan hingga akhirnya kakinya berhenti
melangkah. Ia tepat berada didepan rumah yang sangat besar dan mewah, tetapi
‘si lusuh’ ini hanya menatapnya dengan rintih seolah memperlihatkan begitu
sakitnya luka yang tengah menggoreskan kepedihan dalam langkahnya.
“Mba Letisha, sudah pulang? Saya bukakan
pintu dulu ya mba”, ya seorang satpam akan membukakan pintu gerbang bagi
dirinya.
“Aku pulang tetapi aku tidak
benar-benar pulang. Aku berada di rumah tetapi tidak benar-benar seperti rumah.
Aku memiliki kemewahan tetapi semua itu hanya kesunyian bagiku. Aku hanya
memiliki hidup dalam diriku dan aku hanya menemukan kebahagiaan ketika aku
benar-benar hidup”
‘Si lusuh’ itu ternyata seorang
perempuan yang cantik dan murni hatinya. Rumahnya seolah menggambarkan alasan
kesedihan dan kepedihan yang ia alami saat ini. Letisha Ivanti Relinta adalah nama
asli ‘si lusuh’, ia berumur 24 tahun. Ia adalah seorang yang penuh keceriaan
tetapi suatu kejadian merenggut keceriaannya itu. Setahun yang lalu, tepat pada
hari dimana ia bertunangan dengan kekasihnya yang selama ini berhubungan jarak
jauh dengannya selama 7 tahun dan menjadi cinta pertamanya ketika kecil,
meninggal dalam kecelakaan pesawat. Pada hari yang sama ketika orangtuanya
beserta adiknya menuju tempat pertunangan itu, pesawat itu mendarat di jalan
raya dan salah satu korbannya adalah keluarganya.
23 Maret 2016 adalah tanggal yang selalu
mengingatkan betapa pedihnya hal yang ia rasakan ketika kehilangan semua sosok
yang ia sayangi. Sejak saat itulah, ia kehilangan hidupnya, ia kehilangan
keceriaannya, bahkan menutup diri dengan orang sekitarnya hingga ia dipanggil
‘si lusuh’ atau ‘gadis penunggu lampu merah’. Tepat setelah hari kejadian itu,
ia selalu melewati jalan yang sama setiap malam dan selalu menunggu pada
pojokan lampu merah dan setelah sebulan ia melakukan itu, sosok suara
seringkali menjadi sosok yang mengantar ia pulang ke rumah. Tetapi sosok suara
itu masih belum mampu membuat ‘si lusuh’ kembali merasakan hidup.
“Pulanglah, jangan menjadi
sosok ‘si lusuh’ lagi. Bahkan jika kamu menjadi sosok ‘si lusuh’ bagi mereka,
bagiku kamu adalah terang bulan dan bintang yang selalu menghiasi malamku. Kamu
akan mengenal sosok suaraku ketika kamu menemukan apa itu hidup lagi dan
membuang ‘si lusuh’ dan ‘gadis penunggu lampu merah’ dalam dirimu”
Setelah malam berlalu, fajar
menyingsing, ‘si lusuh’ dihadapkan pada pilihan. Ia tetap memilih menjadi ‘si
lusuh’ dan ‘gadis penunggu lampu merah’.
“Pagi lagi, pagi lagi, apa akan selalu
ada pagi? Aku rasanya ingin menghilang dari dunia ini, ketika dunia tak
berpihak padaku, siapa yang akan berpihak padaku?”, tangisnya pecah lagi. Rasa
sakit yang ia alami seolah membuat ia membenci fajar dan menyukai senja.
Tok..tok..tok..
“Pagi mba Isha, sarapannya sudah siap”,
ujar seorang perempuan paruh baya.
“Iya bi, saya segera keluar”, ujarnya.
Letisha atau bisa dipanggil Isha hanya
tinggal bersama pembantu rumah tangganya dan penjaga rumahnya yang merupakan
sepasang suami istri.
“Bi, bibi tidak makan? Kita sarapan
bareng aja bi. Bibi ini sudah setahun, jangan canggung lagi kalau saya ajak
makan bersama di meja ini. Isha hanya memiliki punya bibi dan bapak”, ucapnya
dengan wajah pedih.
“Neng yang cantik, bibi dan bapak akan
selalu di samping eneng. Bibi dan bapak sedih kalau eneng sering dipanggil ‘si
lusuh’ dan ‘gadis penunggu lampu merah’. Mereka tidak tau kesedihannya eneng,
tapi bukan berarti dunia seakan tak peduli neng”, ujar Bibi bijak.
“Neng Isha, neng itu cantik, neng itu
orangnya ceria sekali. Bibi dan bapak itu tidak punya anak tapi bibi dan bapak
sudah anggap eneng itu anak walaupun kita berbeda neng. Neng tau, setiap kali
eneng keluar dan menunggu bapak kuatir. Itulah kenapa bapak selalu nyamperin
eneng kalo neng ga pulang di jam biasa”, ujar Bapak menguatkan.
“Udah toh pak, eneng kan harus ke
kantor. Yaudah yuk neng, kita sarapan”, ujarnya mengakhiri.
“Aku bahkan tidak tau alasan aku bahagia
dan tersenyum hari ini. Tapi mereka mungkin akan jadi alasan kenapa aku masih
kuat hingga saat ini. Dua orang yang sosok yang selalu di keluargaku bahkan
selalu berkorban buatku. Mungkin suatu saat nanti saat mereka telah tua, aku
hanya bisa memberikan apa yang aku miliki saat ini agar mereka hidup layak.
Trimakasih bibi dan bapak, Isha masih punya alasan”, ujarnya dalam hati.
“Saat aku tidak tahu alasan
aku harus merasakan hidup lagi, saat itulah aku sadar bahwa masih ada orang
yang menginginkan aku hidup lagi. Mungkin ini bukan alasan, tetapi aku harus
menemukan alasan kenapa seorang seperti aku harus tetap hidup lagi”
Isha adalah seorang pemilik hotel
berbintang lima di Jakarta, de Lujo Bonita Hotel. Hotel yang dibangun oleh
keluarganya ini telah memiliki cabang hotel di beberapa ibukota besar di
Indonesia dan beberapa berada negara benua Asia Tenggara lainnya. Isha selalu
datang ke hotel dengan pakaian sederhananya dan tampil lebih kasual dengan sneakers hitamnya. Bahkan tak banyak yang mengira kalau ia adalah
pemilik hotel berbintang ini.
“Pagi mba Isha”, ujar seorang perempuan
yang berada di lobi.
“Saya seperti biasa ingin tau
perkembangan hotel ini”, ujarnya singkat.
“Baik mba Isha, semua sudah disediakan
di ruang meeting mba”,
“Baik, saya segera kesana”, ujarnya dan
langsung menuju ruang meeting yang berada pada lantai 10 hotel itu. Ketika ia
naik lift,
ia memperhatikan wajahnya pada cermin lift.
“Wajahku selusuh ini, penampilanku juga.
Wajar saja mereka memanggil ku seperti itu. Kecuali bibi dan bapak dan sosok
suara itu. Mungkin juga pak Anas (manager hotel)”, ujarnya pada diri sendiri.
Selama 3 jam berada dalam ruang meeting,
Isha akhirnya keluar dengan wajah yang sama tanpa ada suatu keceriaan yang
terlihat dari wajahnya bahkan wajahnya menunjukkan kesedihan lagi.
“Isha”, ujar seorang dengan suara berat.
“Pak Anas, ada apa pak?”,
“Isha, maafin bapak karena bapak harus
pensiun. Bapak juga tidak sanggup lagi harus bolak balik urus ini dan itu.
Percaya sama bapak, ana bapak akan membantu kamu, Sha”, ujar pak Anas sembari memegang
pundah Isha dengan yakin.
“Pak, saya itu...saya sangat butuh
bapak. Saya sudah sangat percaya pda bapak. Saya belum kenal anak bapak”,
ujarnya tertunduk.
“Isha, bapak tidak mungkin menambah
beban Isha dengan memilih orang yang salah untuk hotel ini. Bapak tetap
memantau hotel ini melalui anak bapak”,
“Pak, sejak setahun yang lalu aku hanya
bisa mengandalkan bapak, ketika bapak pergi, apa saya masih bisa pak mengurus
hotel ini?”
“Isha, tahun ini kamu berumur 24 tahun,
bapak percaya kamu bisa mengurus hotel dengan atau tanpa bapak. Kamu harus
selalu ingat pesan bapak”.
“Didunia ini, semua orang akan
pergi dan semua akan merasakan yang namanya kehilangan. Tetapi bukan karena
kamu kehilangan maka kamu turut hilang dari dunia ini”
“Isha sayang sama bapak”, ujar Isha
dengan kepedihan ia menitihkan air matanya kembali.
“Saya sangat sangat sayang kepadamu
nak”, ucap pak Anas sembari memeluk Isha. Tangis Isha semakin pecah hingga
lorong itu penuh teriak sedih Isha. Baginya, semua orang yang mungkin akan
pergi jauh merupakan orang-orang yang benar akan pergi meninggalkannya.
Malam pun tiba, ia kembali berdiri pada
pojok lampu merah. Hal yang sama pun seseorang memanggil ia ‘si lusuh’,
seketika ia berjalan tanpa memperhatikan sekitarnya dan lagi semua orang
berteriak ke arahnya.
“Hei lusuh, lagi-lagi dan lagi kamu”,
sosok suara itu kembali lagi.
“Lusuh, masih aja sama seperti 10 bulan
yang lalu aku menemuimu. Sampai kapan kamu seperti ini?”, tanya sosok suara
itu.
“Siapa kamu yang berhak menanyakan ini
padaku? Siapa kamu yang seolah mengenal baik aku? Bahkan aku tak mengenalmu.
Keluarlah dan tunjukkanlah dirimu”, ujar Isha tanpa menoleh.
“Hei lusuh, lihatlah ke atas. Lihatlah,
jangan hanya melihat ke depan”, ujar sosok suara itu.
Tetapi Isha hanya memandang lurus ke
depan. Isha menyadari kehadiran sosok suara ini setelah 10 bulan yang lalu dan
terus mengusik jalan pulangnya.
“Hei lusuh, hei gadis penunggu, apa kamu
akan tetap berdiri disana dan menatap ke depan?”,
“Lusuh kamu masih belum mau melihat ke
atas? Kamu akan menyesal jika kamu tidak melihat ke atas”, sosok suara mulai
mengeluarkan nada yang tegas dan mengancam Isha.
“Siapa? Siapa kamu yang bisa mengancam
aku? Kamu itu tidak tau kepedihan yang aku alami. Kamu bisa memanggilku ‘lusuh’
semamumu dan sebebasmu, tapi satu hal yang perlu kamu tau kamu bukan orang
penting buatku dan kamu bukan orang yang bisa menyuruhku”, Isha tegas dan
gemetar melawan sosok suara yang terus menyerangnya malam itu.
“Lusuh, akan tetap menjadi lusuh jika
kamu tidak memulai langkah baru dalam hidup ini. Hei lusuh, itu sudah satu
tahun silam bukan? Lalu untuk apa kamu menjebak hidupmu dalam kepedihan yang
tak berarti? Apa kamu tidak memiliki alasan untuk hidup di dunia ini?
“Apa hakmu menanyakan hal itu padaku?
Aku bahkan tidak memiliki alasan untuk bertahan disini”, ujarnya lesu.
“Lalu untuk apa kamu disini lusuh
(teriaknya). Untuk apa kamu bertahan dalam gelapnya malam, bertahun-tahun yang
akan datang kamu tidak akan menemukan kebahagiaan lagi. Karena kamu membunuh
kebahagiaan dalam dirimu sendiri”, ujarnya dengan tegas.
“Kenapa? Kenapa kamu seolah memiliki hak
untuk ini semua? Kenapa kamu selalu menjadi bayang-bayang langkahku selama 10
bulan ini. Apa hakmu terus berada disini menyuruhku pulang dan dan berada
disini saat aku pulang?”, ujarnya sambil menangis, air matanya tak terbendung
lagi hingga akhirnya ia bertelut dan merasa pedih.
“Lusuh, mungkin aku hanyalah
bayang-bayangmu. Tapi aku melakukan ini agar kamu menemukan kebahagiaan
sejatimu dan malam ini kembali indah seperti malam sebelumnya”, ujar sosok
suara itu tenang.
“Aku mungkin hanya bayang-bayang
yang mengiringi langkah kelabilanmu itu. Mungkin bagimu aku bukan sosok
penting. Tetapi aku adalah sosok seorang yang mencintaimu dalam diam dan merasa
sakit bila kau pedih dan tugasku saat ini menjadi bayang-bayang langkahmu. Agar
saat kamu terjatuh, kamu terjatuh atasku dan kamu tidak begitu merasakan sakit
itu tapi biarlah aku yang merasakan sakit itu”
“Lusuh, saatnya kau harus berdiri dan
tidak hanya melihat ke depan tetapi juga ke atas, kiri, kanan bawah bahkan
belakang sekalipun. Aku tau pedih yang kamu rasakan saat ini, tapi kepedihan
itu membuatmu hilang dari hidupmu yang sebenarnya”, ujar sosok itu dengan
sedih. Isha hanya menangis meratapi setiap perkataan sosok suara itu. Ia hanya
berteriak dalam kepedihan yang ia rasakan, ia hanya tau bahwa malam begitu
gelap, kelam dan hanya itu yang ia ingat tentang kegelapan. Tanpa peduli
bagaimana terang berjuang memerangi kegelapan.
“Lusuh, aku tau kamu tidak menginginkan
aku berada disini. Tetapi aku akan tetap menjadi bayang-bayang langkahmu. Sekalipun
kepedihan menutupi sukacitamu saat ini, aku akan tetap berada disini
menguatkanmu. Bahkan tanpa kamu sadari sekalipun, aku disini menjadi terang
dalam kegelapan yang kau anggap begitu kelam dan menyeramkan”, sosok suara itu
seketika menghilang.
Isha hanya terus menangis dan menangis
hingga orang yang melewati jalan itu melihat ke arahnya. Ia terjatuh pingsan
dalam kepedihan hatinya. Bibi dan Bapak menyadari Isha begitu lama pulang dari
jam biasanya ia pulang. Tak lama kemudian, Bibi dan Bapak menemukan Isha di
pinggiran jalan dalam keadaan pingsan setelah mendapat telepon dari pos satpam
penjaga komplek perumahan.
“Pak, gimana ini si eneng”, ujar Bibi
yang digundah rasa panik.
“Iya bu, kita bawa pulang kata orang
sini tadi eneng nangis hingga pingsan tadi penjaga sini bilang eneng aman
makanya dia langsung telpon bapak”, ujar Bapak menenangkan.
Hari ini, cukup cerah tetapi tidak
secerah kemarin. Namun bagi Isha, pagi hanyalah sebuah kondisi wajib yang perlu
dinikmati sebelum malam akan tiba.
“Neng, udah bangun?”, ujar Bibi yang
cukup mengejutkan Isha dari lamunannya.
“Udah, bi. Maafin aku ya bi, tadi malam aku
pulangnya telat dan sempet pingsan di jalan. Isha jadi repotin bibi dan bapak”,
ujar Isha menyesal.
“Eneng jangan sedih, bibi dan bapak
sangat senang eneng kembali ke rumah. Bibi dan bapak tidak bisa melihat eneng
terus dalam kepedihan. Eneng harus belajar mengikhlaskan dan belajar menerima.
Eneng harus hidup bahagia seperti dulu lagi” ujar Bibi bijak.
“Berat, bi. Terlalu pedih, aku
kehilangan semuanya dalam satu waktu yang sama dalam tragedi beruntun di hari
bahagiaku. Maksudnya di hari yang seharusnya itu adalah hari bahagiaku”,
ujarnya kembali sedih.
“Neng, jangan nangis. Bibi dan bapak
yakin setiap kata-kata baik dari siapapun itu dan kata-kata itu tujuannya
menguatkan, neng harus bisa terima karena darisitu neng bisa mendapat alasan
untuk hidup lagi. Yaudah neng, neng siap-siap mau ke hotel kan? Bibi udah buat
bekal”, ujar Bibi. Isha menghela napasnya. Ia merasakan sedikit kelegaan dalam
dirinya sejak kejadian tadi malam hingga membuat ia terus kepikiran.
Bahkan ketika ia sampai di hotel,
karyawan begitu takjub dengan penampilan Isha yang cukup berbeda. Isha sekarang
sudah menggunakan warna-warna cerah dan tetap berpakaian kasual, ia juga menebar
senyum tipisnya itu walaupun belum selebar dulu.
“Mba Isha, hari ini beda banget ya”,
bisik salah seorang resepsionis wanita.
“Iya, kelihatan lebih bahagia dan cerah.
Tapi bagus juga sih, itu artinya mba Isha udah move on dari kejadian tahun
lalu”, jawab resepsionis pria di sebelahnya.
Hari ini, Isha mendapat karyawan baru
sebagai pengganti posisi pak Anas yaitu Kenardi.
“Ken? Kamu Ken kan?”, ujar Isha.
“Heii lu... heii Isha, aku Ken, kalau
kamu masih ingat aku temen SD kamu dulu”, ujarnya.
“Kamu kalau nyaman pake ‘lo gue’ ga
apa-apa kok. Lo daritadi?”, tanya Isha.
“Aduh Sha, maaf aku ga biasa pake ‘lo gue’ gitu.
Tadi aku salah panggil aja, ‘aku kamu’ aja biar lebih deket”, ujarnya tenang.
“Ken Ken, kamu masih kuper ya, belum
bisa bilang ‘lo gue’ gitu hahaha”, tawa renyah Isha seketika pecah dan
memecahkan keheningan di lorong hotel itu dan semua mata karyawan tertuju pada
Isha yang lebih ceria.
“Kamu masih ingat sifatku yang sama sekali belum
berubah?”, ujar Ken tenang lagi.
“Apa itu? Emm, biar aku tebak. Kamu
pasti masih jadi ‘suara kaleng’ kan? Hahahahah”, tawa Isha kembali pecah, Ken
tersenyum manis melihat Isha yang saat itu tertawa.
“Aku senang, Sha. Kamu kembali tertawa.
Aku tau kamu butuh proses ini, aku berhasil ehh maksudnya aku anggap aja
berhasil menjadi ‘suara kaleng’ bagimu”, ujarnya dalam hati.
“Kamu ngapain senyum-senyum gitu Ken?”,
ujar Isha sembari menatap Ken.
“Aku hanya senang kamu memakain pakaian
warna cerah hari ini, aku senang bisa melihatmu tertawa, aku senang karena kamu
menemukan titik kamu harus hidup lagi”, ujar Ken tenang.
“Iya, Ken. Aku baru saja menyadari, 3
alasan kenapa aku harus hidup lagi. Mungkin sakit, pedih, kelam ditinggal oleh
orangnya yang sangat berarti dan kita cintain. Tapi saat itulah, aku di proses
untuk memilih hidup atau mati, selama setahun aku memilih mati dan sekarang aku
memilih hidup”, ujarnya bijak. Isha dan Ken terus berbincang-bincang hingga
malam pun tiba.
“Aku akan mengantarmu, Sha”, ujar Ken.
“Baiklah, ini adalah pertama kalinya
setelah setahun berlalu seseorang mengantarkan aku pulang. Bagaimana kalau di
persimpangan lampu merah kita jalan kaki. Nanti mobil kamu di parkirin di
Indomaret aja”, jawab Isha.
“Tentu”, jawan Ken singkat. Setelah
mereka sampai pada persimpangan lampu merah. Tanpa sadar Isha, berjalan
sendiri. Ia tidak lagi menunggu berjam-jam berdiri, ketika lampu berganti
menjadi merah, ia dengan hati-hati melangkah dan menyeberangi jalan itu.
Orang-orang yang melihat ‘si lusuh’ menjadi terheran-heran dengan perubahan
yang terjadi dalam waktu semalam.
“Hei lusuhh”, teriak sosok suara itu
yang seketika mengejutkan langkah Isha. Isha menghentikan langkahnya dan kali
ini dia melihat ke kiri dan kanan serta belakang bahkan ke atas.
“Aku belum melihat sosokmu”, ujar Isha
tenang.
“Hei lusuh, kamu bukan lagi ‘si lusuh’
atau ‘gadis penunggu lampu merah’, kamu telah menanggalkan itu semua dari
dirimu dan memilih hidup lagi. Aku senang kamu melepas kepedihan itu dan
membiarkan sukacita itu menguasai dirimu”, ujar sosok suara dengan nada bahagia.
“Aku memilih hidup lagi. Aku tau selama
ini aku terkurung dalam kepedihan, ketakutan, kekelaman yang sebenarnya itu
diciptakan oleh diriku sendiri. Sekarang aku memiliki 3 alasan untuk aku hidup
lagi”, ujarnya tenang.
“Aku senang melihat senyummu hari ini,
Sha”, ujar sosok suara itu perlahan. Isha terdiam dan mulai berpikir, seolah
pernah mendengar kata-kata seperti itu dan seseorang pernah memanggil ia
seperti itu.
“Suara kaleng?”, ujar Isha dengan nada
kecil.
“Iya, aku suara kaleng yang selalu
menjadi bayang-bayang langkahmu, Sha”, ujar sosok suara itu.
Dari gelapnya malam, sosok suara itu
dari arah datangnya terang dan sosok itu adalah Ken.
“Ken?”, Isha terkejut dengan mata yang
mulai berbinar-binar.
“Aku menyayangimu, Sha. Aku rela menjadi
bayang-bayang langkahmu utnuk terus membuatmu kuat walau aku sedikit terlambat.
Aku sedih ketika aku tau kamu bersama Razi. Tapi Tuhan berkehendak, hati ku tau
kepada siapa harus pulang dan menemukan hati itu”, Ken terdiam dan seketika
Isha memeluk erat Ken.
“Trimakasih Ken, trimakasih karena sudah
menjadi ‘suara kaleng’ ku selama ini. Kamu sudah menjagaku selama 10 bulan ini,
kamu membuatku sadar bahwa hati yang luka tidak dapat terus berada dalam
keadaan tertutup. Aku membuka hatiku untukmu Ken, aku menyayangimu Ken”.
“Kamu tidak perlu takut lagi, Sha. Aku
akan menjadi terang bagimu, kamu tidak akan berada dalam gelap itu lagi”, ujar
Ken sembari memeluk erat Isha.
Setelah malam itu berlalu, Isha lebih
semangat menjalani hari-harinya. Ia pun harus berpisah selama sebulan dengan
Bibi dan Bapak yang akan berangkat umroh. Hari-hari Isha lebi bermakna dan
setiap harinya selalu ia tuliskan dalam buku diarynya agar ia selalu ingat mengapa ia harus mengucap syukur.
Isha dan Ken juga telah memulai sebuah hubungan yang serius untuk menjadikan
pasangannya sebagai pasangan hidup. Semua berakhir bahagia bila kita memilih
jalan yang baik tetapi berakhir kepedihan jika kita tidak memilih dan berada di
tempat yang sama dan memilih terjebak dalam kepedihan.
“3 alasan kenapa aku memilih
hidup lagi : (1) Aku tau tujuan hidupku sekarang, (2) Tuhan masih mengasihiku,
dan (3) Aku masih memiliki orang yang sangat mencintaiku”
Komentar
Posting Komentar