Sebuah Cerita: Random Journal Pikiranku tentang Menikah
Akhir-akhir ini aku sedang tidak memiliki banyak
kegiatan untuk dikerjakan. Ternyata, aku sudah lama tidak menulis sesuatu.
Hari ini aku ingin kembali menulis sesuatu yang
cukup aneh.
Namaku Yisi Mindi , usiaku saat ini 25 tahun, aku berada dalam quarter life crisis.
Saat aku masih remaja, waktu itu aku masih ingat,
aku duduk di kelas 2 SMP.
“Nanti, kamu juga akan menikah”, ujar Ayahku saat
itu ketika kami sedang mengobrol di ruang keluarga.
“Tidak, aku tidak mau menikah. Aku akan tinggal
bersama Ayah dan Ibu”, ujarku.
“Kalau kamu tidak mau menikah, Ayah akan
mengusirmu dari sini”, ujar Ayahku.
Saat itu, mungkin Ayahku mengganggap perkataan
anak remaja yang belum tahu tentang pernikahan sesungguhnya atau mengganggapku
bercanda. Tetapi saat itu aku sungguh serius dengan perkataanku.
Di bayanganku, pernikahan itu cukup menakutkan.
Sekalipun kehidupan pernikahan Ayah dan Ibu baik-baik saja, aku rasa karena
mereka mampu mengatasi berbagai hal. Lalu,bagaimana dengan orang di luar sana
yang belum mampu mengatasi ini, pernikahan menimbulkan kekacauan.
Belum lagi seiring usiaku bertambah, seiring
kecanggihan teknologi berkembang dan seiring dengan kehidupan pernikahan yang
semakin beragam.
Ayahku meninggal saat aku masih SMA, kini Ibuku
menjadi satu-satunya orang yang mengatakan,
“Kamu sudah bisa memikirkan tentang menikah. Kamu
harus bisa memilih suami yang baik”,
“Aku tidak mau menikah”, jawabku pada Ibu.
Di tahun 2022 ini, dengan sosial media aku bisa
menyaksikan bagaimana perjalanan pernikahan seseorang. Kurasa pilihan
mempublikasi adalah hal yang lumrah. Istilah orang ketiga disebut pelakor, pernikahan
dapat disaksikan live streaming di tv nasional, bagaimana banyaknya kasus
saling menyakiti. Masih banyak lagi. Itu membuatku menjadi khawatir. Mungkin
aku tidak akan menemukan seseorang seperti Ayahku di zaman sekarang ini. Bagi
anak perempuan, Ayah bukan hanya cinta pertama tapi standar bagaimana memilih
pasangan hidup nanti.
Belum lagi kasus pernikahan yang tidak baik-baik
saja, aku saksikan langsung di rumah. Ryan Zein, dia adalah saudara kandung
laki-lakiku yang sudah menikah 2 tahun. Aku melihat semuanya. Aku semakin
berpikir dan mengatakan ini pada Ibuku di suatu malam,
“Bu, jangan khawatir. Aku akan memiliki pekerjaan
tetap itu sudah cukup, aku bisa hidup sendiri. Aku juga bisa berpisah rumah
dengan Mas Ryan dan Mba Elena”, ujarku pada Ibu,
“Tidak, itu berbeda. Kamu harus menikah sebelum
Ibu meninggal”, ujar Ibu. Jujur, saat ini aku juga takut dengan kematian. Bukan
kematian yang menghampiri nyawaku, tetapi menghampiri orang yang kusayangi.
Sebelum penghujung tahun 23 Desember 2021, aku
bertemu dengan teman terdekat dan kami membicarakan resolusi. Karena kami semua
seumuran, maka salah satu resolusinya adalah pasangan hidup. Saat itu, aku jadi
bingung harus mengatakan apa, tentang pasangan hidup aku belum siap.
Lalu saat malam tahun baru, 31 Desember 2021, aku
mengatakan ini pada Ibuku,
“Tahun ini, aku berusia 26 tahun. Bagaimana jika
tidak ada yang menyukaiku? Kurasa aku memang tidak perlu menikah”,
“Tidak, pasti ada, coba cari”, jawab Ibu,
“Cari? Bagaimana mau mencari aku tidak seterkenal
anak pejabat”, jawabku.
Sebenarnya, di tahun yang serba maju ini, tidak
ada yang tidak mungkin untuk memilih tidak menikah. Tetapi aku berada di suatu
kota dengan adat dan suasana yang cukup kental dengan keharusan pada
pernikahan. Jika tidak menikah atau usia sudah lanjut maka siap-siap dengan
pernyataan dan pertanyaan yang lebih tajam dari orang lain. Jadi di usia ini
aku sudah mulai diingatkan oleh semua orang.
“Kamu sudah pacar, Naya?”,
“Sudah bisa di cari-cari jodohnya nak”,
“Setelah ini, pesta nikahan kamu ya”.
Tetapi aku merasakah hal-hal aneh akhir ini.
Menurutku, hal-hal ini mengubah pandanganku, tentang pasangan hidup dan
pernikahan. Anehnya, aku berdoa pada Tuhan lalu meminta ampun jika aku pernah
mengatakan untuk tidak menikah, lalu aku mengatakan pada Tuhan jika aku ingin
bertemu pasangan hidup dan mempersiapkan pernikahan. Terlihat, dalam sekejap
aku mengubah pandanganku. Tetapi akhir-akhir ini aku merasa kenapa Ayahku dulu
bahkan sekarang Ibuku memintaku untuk menikah.
Bukan berarti orang yang tidak menikah memilih pilihan yang salah,
tetapi ini hanya tentang aku dan apa yang kurasakan. Ini adalah Tentative Journal. Pada akhirnya aku
tidak bisa menemukan apakah ini akan berakhir baik atau tidak, apakah aku
bertemu dengan pasangan hidupku atau tidak, atau pada akhirnya aku akan hidup
sendiri.
Aku memutuskan untuk menulisnya dalam Tentative Journal di tanggal 29 Januari
2022.
“Aku juga pernah pacaran”
Walaupun aku memikirkan untuk tidak menikah,
bukan berarti aku tidak pernah pacaran. Aku pernah pacaran. Tetapi pacaran yang
paling membekas padaku adalah yang terakhir. Aku dan dia putus sekitar bulan
April 2019.
Pacarku adalah temanku sendiri, berawal dari
sering bareng,saling bertukar cerita bahkan kami saling mengetahui kejelakan
satu sama lain. Selama pacaran, tentu ada gesekan-gesekan. Yang kuingat waktu
itu kami pernah mengatakan ini, masih atau tidak kami harus tetap datang di
sidang akhir satu sama lain. Berhubung aku lulusan diploma jadi aku lebih
duluan sidang sebelum kami jadian, namun dia baru sidang akhir bulan Februari
2019. Karena aku lulusan diploma, aku memutuskan kuliah di Jakarta, jadi saat
dia sidang aku rela ke Semarang dan menginap beberapa hari di rumah temanku.
Lalu 2 bulan kemudian, saat itu kelompok survey
harus memilih wilayah di luar Jakarta. Dengan antusiasnya aku mengusulkan
Semarang, alih-alih sambil mengerjakan tugas kuliah, aku bisa bertemu
dengannya. Bisa dibilang aku yang paling semangat saat itu diantara teman
kelompokku yang lain. Setelah kami sepakat di Semarang, aku menghubunginya. Aku
memintanya untuk menemuiku saat tiba di Semarang. Inilah awal kenapa aku mulai
merasa ada yang beda.
Rasanya seperti dia mulai malas untuk membalas
pesanku, malas untuk menemuiku padahal jarak kami hanya 30 menit perjalanan
sekarang. Bahkan pesannya benar-benar singkat. Kutanya kenapa, dihanya menjawab
‘tidak apa-apa’. Akhirnya, dia memutuskan untuk menemuiku. Lalu kami bertemu.
Disitulah, sifat kedewasaan kami benar-benar diuji. Pada akhirnya, kami putus.
Namun dia memutuskan untuk menenagkan diri hingga hari Paskah, dan menjelaskan
alasan kami putus. Walaupun kami sudah putus, dia tetap mengantarkanku ke
stasiun dan membawakanku banyak makanan.
Hari Paskah tiba. Disitulah aku tahu alasan
sebenarnya kami putus. Kami putus cukup klise, dia bosan dan ada perbedaan suku
diantara kami. Teman ceritaku yang saat itu menjadi sandaranku bahkan Ibuku
saat itu mengatakan,
“Kenapa tidak berjuang dulu? Kalian masih muda,
perjalanan masih panjang. Kalian belum mencoba untuk memperjuangkan itu”.
Semuanya mengatakan hal yang sama. Lalu aku mengatakan padanya tentang itu.
Seingatku, responnya tidak seperti yang kuharapkan.
Kami putus. Tetapi kami tetap saling komunikasi,
tetap bertemu jika dia sedang di Jakarta. Hal yang paling konyol adalah ketika
dia harus kembali ke Semarang setelah wawancaranya di salah satu perusahaan,
saat itu dia sedang menunggu di stasiun. Aku rela naik ojek online ke stasiun
hanya untuk menemaninya menunggu lalu aku pulang. Aneh kan? Kurasa itu tidak
terlalu aneh,karena aku sangat menyayanginya. Aku memutuskan untuk memulai
hubungan dengannya dan berharap aku dan dia selamanya (aku tidak membicarakan
pernikahan, aku juga belum memikirkan hal itu). Hanya tentang bersama untuk
seterusnya.
Aku sangat sedih saat kami putus, rasanya apa
yang sudah kami bangun untuk tujuan yang panjang hancur seketika. Mungkin juga
karena ketidakdewasaan kami saat itu. Mungkin karena saat itu kami belum tahu
akan jadi apa kami nanti dan bagaimana kami menghadapi semua ini. Karena kami
sering bertemu dan intensitas komunikasi kami sangat sering, Ibu bertanya
padaku,
“Bukannya kalian sudah putus? Kenapa masih
bertemu?”.
Maksud Ibuku disini adalah sebenarnya apa tujuan
kami, bahkan tidak ada pembicaraan serius lalu untuk apa pertemuan itu. Seketika
aku tersadar,sepertinya ini hubungan tidak sehat dan semakin lama aku semakin
merasa ini tidak baik untukku sendiri. Selain itu, kami jadi menghalangi jodoh
masing-masing untuk datang. Aku mengajaknya bertemu untuk berhenti dan kami
juga harus bertindak layaknya teman biasa dan seperti orang lain yang sudah
putus. Tetapi aku tetap mengatakan padanya untuk tetap datang sidang akhirku.
Bicara tentang sidang akhir sarjanaku, tepat di
hari ulang tahunnya. Dan aku tidak tahu hingga di hari itu dia begitu kesal.
Padahal aku sama sekali tidak berniat untuk mengacuhkannya, aku hanya sedang
bercana dengan temanku yang lain. Aku meminta maaf untuk itu, karena wajahnya
dan diamnya menjelaskan kekesalannya saat itu.
Berselang waktu aku tahu, akhirnya dia mendekati
satu atau dua orang. Lalu kami berjumpa untuk terakhirnya, Desember 2020. Kata
yang teringat dalam benakku adalah ketika dia mengatakan,”Terimakasih untuk
semuanya”.
Artinya kami tidak akan berkomunikasi seperti ini
lagi, tidak bertemu seperti ini lagi. Layaknya benar-benar berakhir. Jawabanku
saat itu, aku lupa, tetapi yang jelas aku berusaha tersenyum.
Sejujurnya aku belum move on. Ketika pertemuan
terakhir itu, esok paginya aku harus mengejar penerbangan pagi untuk pulang ke
daerahku. Karena pandemi setiap penumpang dibatasi. Aku ingat sekali aku duduk
sendiri dekat dengan jendela pesawat. Lalu mengingat setiap apa yang kami
bicarakan kemarin malam. Aku menangis. Rasanya seperti,
“Oh begini rasanya harus melepas disaat hatiku
belum sepenuhnya ikhlas. Aku selalu berpikir, apa mungkin kami selalu bertemu
dan terus berkomunikasi karena memang kami akan kembali. Walaupun begitu aku
belum bisa kembali dengan cara cepat,karena apa yang terjadi selama kami putus
memiliki cerita panjang yang bahkan belum ada akhirnya. Akhirnya hanya
keputusan itu, untuk selesai”.
Sepanjang perjalanan, ditemani dengan cuaca yang
cerah, aku terus menangis. Aku belum bisa, aku ingin sekali lagi jujur padanya
aku belum move on.
Tapi beberapa minggu kemudian ternyata dia sudah
pacar. Aku mengerti kenapa dia mengatakan itu, kenapa saat itu dia mengajakku
bertemu, kenapa saat itu terasa tenang. Sejak itu, akhirnya aku memutuskan
untuk move on.
Aku dan dia tetap berteman bahkan di media sosial
pun.
Jadi walaupun aku pernah berpikir untuk tidak
menikah, bukan berarti aku belum pernah pacaran. Dari pacaran aku juga belajar
banyak hal, termasuk kedewasaan. Kurasa aku belum dewasa selama aku pacaran.
Tetapi sejak aku putus yang terakhir, aku menjadi lebih hati-hati.
Bagaimana tidak aku sudah menghabiskan waktu 1
tahun 6 bulan dengannya. Dan berakhir sia-sia.
Sekarang aku memutuskan tidak pacaran, bukannya
aku tidak mau menyukai lawan jenis. Tetapi pacaran akan buang waktu, kecuali
kalau kedua keluarga sudah sepakat untuk membawa ini ke jenjang yang lebih
serius.
Jika sudah di tahap ini kurasa aku bisa mundur.
Karena belum siap. Pacaran itu pasti menyenangkan bukan? Walaupun ada putus
nyambung, hubungan terus akan berlanjut dan itu menyenangkan karena kita
melakukan banyak kesalahan lalu belajar. Tetapi saat menikah, itu tidak boleh
terjadi. Kehidupan setelah hari besar pernikahan yang mewah adalah kerusuhan
yang datang satu per satu bahkan datang disaat yang lainnya belum
terselesaikan.
Satu lagi, aku merasa diumur yang mau menuju 26,
aku masih belum dewasa. Aku cukup egois, itulah mengapa aku selalu merasa aku
bisa hidup sendiri walaupun aku tidak menikah. Aku bisa memasak (walaupun tidak
seahli Ibuku), aku bisa memperbaiki pintu lemari yang rusak, aku bisa mencuci
pakaian sendiri, aku bisa bersih-bersih, aku mengendarai sepeda motor (karena
kami belum memiliki mobil saat ini),aku menghias kamarku tanpa harus
mengeluarkan uang yang banyak dan paling penting aku bisa mengatasi kesepianku
dengan berbagai hal yang tidak buruk.
Lalu dibanding dulu, sekarang aku tidak mudah
membuka hati kepada lawan jenis. Aku juga tidak seperti dulu yang mudah
mengagumi lawan jenis, kecuali Superjunior. Harus diingat bahwa aku juga
seorang introvert,
Jadi, aku pernah pacaran, tetapi jika ditanya
tentang menikah, aku akan menjawab,
“BELUM SIAP”.
“Alasanku belum siap menikah”
Aku salut dengan pasangan yang akhirnya
memutuskan menikah pada usia 22-24 tahun. Aku merasa itu bukan hal yang mudah.
Ini bukan tentang seberapa banyaknya penghasilan,tetapi seberapa siap berada
dalam lika-liku yang lebih aneh dibanding saat single.
Jika di pikir-pikir, alasanku belum siap menikah,
salah satunya adalah rasa insecure yang terus datang menghampiriku.
Rasa insecure sudah kualami sejak SD, seiring
dewasa aku mulai mengganggapnya biasa, lalu kembali merasakan insecure kembali
saat sudah dewasa.
Aku memiliki kulit kuning langsat, memiliki wajah
kotak, kulitku cukup sensitif bila terlalu dibawah matahari.Aku salah satu
pemilik jerawat di kulit wajahku, dan beberapa tahun ini aku cukup berjuang
untuk mulai perlahan mengatasinya. Lalu mataku sipit dengan lipatan kelopak
mata yang berbeda, sisi kiri 3 lipatan dan sisi kanan 2 lipatan. Hidungku
pesek. Bibirku juga tipis dan biasa. Aku bersyukur karena aku masih terus hidup
hingga saat ini tanpa harus merubahnya.
Tetapi saat aku percaya diri bahwa aku cantik
dengan apa adanya aku sekarang. Seketika itu langsung hancur karena perkataan
orang lain.
“Apa sih yang dia lihat dari kamu? Gebetan
sebelumnya saja cantik”,
“Kok gitu jerawatmu”,
“Kamu tidak ada rencana oplas?”,
“Eh, kenapa kamu tidak
oplas?”.
Aku mengingat satu
kejadian yang membuatku ‘tersenyum saja’, saat itu ada kumpul keluarga. Aku
masih kuliah dan aku bersama dengan adik sepupuku yang cantik. Adik ipar Ibu
mengambil fotonya dan memujinya cantik, padahal aku berada di sebelahnya lalu
mengacuhkanku.
“Ah, begini rasanya,
rasanya sakit jika itu berasal dari tindakan saudaramu sendiri”.
Yang terpikirku saat itu hanya tersenyum dan
menguburnya untuk diriku sendiri. Anehnya, aku mulai berpikir begini. Jika ada
seseorang menikahiku, apa dia sanggup mencintaiku secara keseluruhan dengan
wajahku yang tidak secantik standar kecantikan di luar sana? Mungkin dia
menyukai sifatku, tetapi apa seiring berjalannya waktu dia tidak akan bosan
dengan wajahku selama menikah? Apakah nanti dia sanggup berdua denganku tanpa
harus mengalihkan pandangannya pada wanita lain?
Aku belum siap menikah, jika pada akhirnya nanti
aku dibandingkan, ini lebih cantik, itu lebih putih atau mulus.
Itu sangat menyesakkan, sungguh.
Aku ingin sekali bertanya pada semua
orang,”Apakah aku sejelek itu di mata kalian?”.
Aku selalu berusaha memberikan penampilan
terbaikku, berusaha tetap seperti orang pada umumnya yang selalu ingin terlihat
cantik. Aku juga melakukan seperti orang-orang menggunakan ragam produk
perawatan kulit.
Jadi itu alasan pertamaku, aku hanya tidak ingin
seseorang menyesal menghabiskan waktunya bersamaku seumur hidupnya, itu saja.
Lalu, alasan kenapa aku belum siap adalah tentang
pikiran bahwa aku merasa tidak ada lawan jenisku yang menyukai diriku.
Sejak aku putus terakhir, hingga saat ini tidak
ada satu orangpun yang mendekatiku. Tetapi mantanku dengan mudahnya memiliki 1
mantan dan sekarang 1 pacar semenjak kami putus.
“Apa aku seburuk itu?”.
Aku tidak membahas masalah pekerjaan, karena
sebentar lagi aku akan
“Apa orang begitu takutnya mendekatiku?”,
bekerja di
instansi pemerintahan sebagai pegawai tetap hingga nanti umur pensiunku tiba.
Bagaimana aku mengatakan ini, aku hanya merasa
orang hanya tidak menyukaiku. Lalu bagaimana caranya aku bertemu pasangan
hidupku jika seperti ini.
Lalu alasan aku belum siap yang ketiga adalah aku
menyaksikan langsung pernikahan yang menurutku tidak sehat. Pernikahan Ayah dan
Ibuku adalah impianku, ini bukan tentang orangtua. Tetapi kakak laki-lakiku
yang baru saja menikah selama 2 tahun.
Mas belum memiliki kerja dan Masku juga belum
memiliki kerja saat mereka menikah. Lalu dalam satu bulan Mas mengajaknya
bercerai dan Ibuku berusaha menenangkan dan menjadi penengah dan masalah
selesai. Selalu ada masalah, dan aku merasa mereka belum dewasa sekalipun
usianya lebih tua dariku.
Mbaku akhir-akhir menemukan pekerjaan, walaupun
demikian Mas malah diam di rumah tanpa melakukan apapun. Menurutku ini tidak
sehat. Mbaku harus menyuci pakaian mereka berdua sendirian, lalu menyediakan
makanan atau minuman untuk Mas padahal waktu berangkat jam kerja sudah dekat,
lalu seperti semuanya disuruh dengan kata “Sayang”, “Bunda”. Ini tidak sehat,
Lalu aku berpikir, aku tidak mau menikah jika
akhirnya aku dijadikan semacam tukang suruh. Dalam hubungan bukannya selalu ada
saling melengkapi, jika hanya salah satu yang melengkapi itu akan membuat salah
satu pihak merasa lelah dan mungkin salah satu bisa saja pergi.
Jika ditanya alasan lain mengapa aku belum siap
menikah. Alasannya aku masih egois dan mementingkan diri sendiri. Aku hanya
tidak ingin menyakiti siapapun yang baik datang padaku.
“Lalu yang terpikirku saat ini”
Desember 2021, dua orang sepupuku perempuan
menikah dengan selang 1 minggu. Hari yang cukup sibuk untuk acara besar
pernikahan itu.
Hari itu, keluarga besarku sangat bahagia. Bahkan
mereka terus bertanya siapa yang akan selanjutnya menyusul untuk segera
menikah.
Saat kedua sepupuku menikah, aku bisa melihat
bagaimana beban orangtua mereka sudah lepas untuk menikahkan anak perempuan
mereka dengan pria yang tepat. Aku tak bisa membendung senyumku hari itu. Lalu
aku juga bisa melihat bagaimana keduanya sangat senang karena setelah sekian
lama akhirnya mereka bersama pasangan hidup.
Anehnya, aku mulai berpikir dan hatiku tergerak
untuk mendoakan tentang pasangan hidup. Aneh bukan? Aku adalah anak terakhir dan
Ibuku sudah memasuki usia 58 tahun di tahun 2022 ini dan membuatku terus
terdesak.
Disisi lain, teman-temanku juga sudah mulai
menjajaki kehidupan baru dalam 2 tahun terakhir ini. Saat aku melihat itu,
rasanya seperti rasa bahagia itu hinggap di hatiku. Dan aku berpikir kurasa
tidak ada salahnya menikah. Masalahnya adalah ketika aku belum siap dan terus
maju mundur untuk memikirkan pernikahan sendiri.
Jadi tidak ada yang jelas untuk hal yang
kupikirikan saat ini.
Komentar
Posting Komentar